Hal-ikhwal taubatnya Ibrahim bin Adham yakni ketika suatu hari ketika ia keluar rumah untuk berburu. Di tengah perjalanan ia berhenti untuk beristirahat. Lalu dibuka bekal bawaannya untuk dimakan. Tiba-tiba datang seekor burung gagak mengambil roti perbekalan itu dan membawanya terbang. Ibrahim bin Adham heran melihat kejadian aneh itu. Segera ia kembali ke punggung kuda dan memacunya ke arah terbang si burung gagak tadi. Burung gagak itu hinggap di atas bukit.
Setelah dicari-cari, burung gagak itu berhasil dilihatnya dari kejauhan. Segera ia pergi mendekat. Namun, ketika jarak semakin dekat, burung gagak itu terbang lagi menuju ke suatu tempat. Di tempat itu Ibrahim bin Adham mendapati seorang lelaki tengah terbaring, tubuhnya terikat. Ia lalu bergegas turun dari unggung kudanya untuk melepaskan ikatan dari tubuh lelaki yang tak dikenalnya itu. Setelah itu ditanyakannya kepada lelaki itu, perihal apa yang membuat dirinya dalam keadaan terikat.
Lelaki itupun menuturkan kisahnya,
"Sesungguhnya aku seorang pedagang. Suatu ketika segerombolan perampok menghadangku. Mereka menghajarku, lalu mengikatku dan membuangku di tempat ini. Setelah itu mereka mengambil barang-barang daganganku.Sudah tujuh hari aku terikat di tempat ini. Setiap hari burung gagak datang kepadaku membawakan sepotong roti. Ia hinggap di dadaku dan memecah roti itu menjadi beberapa bagian. Potongan-potongan roti itu dimasukkan ke mulutku satu per satu. Selama tujuh hari Allah tidak membiarkanku kelaparan."
Mendengar jawaban tersebut, Ibrahim bin Adham segera menaikkan lelaki itu ke punggung kudanya. Ia memacu kudanya dan mengantarkan lelaki itu pulang.
Setelah peristiwa itu, Ibrahim bin Adham bertaubat, menyerahkan diri sepenuhnya (tawakal) kepada Allah. Ia menanggalkan pakaian-pakaian mewahnya dan ganti mengenakan pakaian Shujf (kain wol kasar). Dimerdekakannya seluruh budak yang ia miliki. Diwakafkannya pula rumah, pekarangan, serta kekayaan apa saja yang dimilikinya. Selanjutnya ia mengambil sebatang tongkat usang dan berjalan menuju Mekkah tanpa bekal maupun kendaraan. Ia tak perlu lagi susah dengan bekal. Sebab ia lebih memilih tawakal kepada Allah dalam menempuh perjalanannya.
Selama perjalanan hingga tiba di Mekkah, Ibrahim bin Adham tidak pernah merasa lapar sedikit pun. Ia sangat bersyukur dan memuji Allah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ibrahim ditanya, "Sejak engkau menapaki jalan ini (jalan sufi), pernahkah engkau mengalami kebahagiaan?"
"Beberapa kali," jawabnya.
"Suatu kali, aku berada di atas kapal dan kaptennya tidak mengenaliku. Aku mengenakan pakaian penuh tambalan, rambutku tidak dipangkas, dan aku sedang mengalami ekstasi spiritual, yang mana semua orang di kapal itu tidak menyadarinya. Mereka menertawakan dan mengejekku. Ada seorang pelawak di kapal itu, sekali-sekali ia menghampiriku, menjambakku, mencabut rambutku, dan menampar leherku. Di saat itu, aku merasa bahwa aku telah memuaskan hasratku, dan merasa sangat bahagia karena begitu dipermainkan."
"Tiba tiba, gelombang besar muncul, dan semua orang dikapal itu takut bahwa mereka akan mati, 'Kita harus melemparkan seseorang ke laut agar beban kapal menjadi lebih ringan' pekik nakhoda. Mereka pun mencengkram tubuhku lalu melemparkanku ke laut. Gelombang pun mereda, dan kapal itu kembali stabil. Saat itu, ketika mereka menarik telingaku untuk melemparkanku ke laut, aku merasa bahwa aku telah memuaskan hasratku, dan aku merasa bahagia.
"Pada kesempatan lain, aku menuju sebuah masjid untuk tidur di sana. Mereka tidak membiarkanku tidur, sedangkan aku begitu lemah dan letihnya hingga tak bisa bangun. Maka, mereka pun memegang kakiku dan menyeretku keluar. Masjid itu memiliki tiga anak tangga; kepalaku membentur masing-masing anak tangga itu, dan darah pun mengalir keluar. Aku merasa bahwa aku telah memuaskan hasratku. Pada setiap anak tangga yang kulewati, misteri dari keseluruhan iklim menjadi terbuka untukku. Aku berkata, 'Andai masjid ini memiliki lebih banyak anak tangga untuk menambah kebahagiaanku!"'"Di waktu yang lain, aku tengah asyik dalam keadaan ekstasi. Seorang datang dan mengencingiku. Saat itu aku pun merasa bahagia."
"Pada kesempatan yang lain lagi, aku mengenakan sebuah jaket bulu yang dipenuhi dengan kutu. Kutu-kutu itu menyantapku tanpa belas kasihan. Seketika aku ingat akan pakaian pakaian bagus yang telah aku simpan di perbendaharaan hartaku. Jiwaku berteriak di dalam diriku, 'Mengapa, derita apa ini?' Saat itu pun aku merasa bahwa aku telah memuaskan hasratku."
Ibrahim Bin Adham populer dengan sebutan Abu Ben Adhem. Nama lengkapnya adalah Sultan Ibrahim bin Adham, Bin Mansur al-Balkhi al-Ijli, Abu Ishaq.
Hidup-Nya Dia lahir di Balkh di sebelah timur Khurasan. Keluarganya berasal dari Kufah dan adalah keturunan dari Khalifah Umar bin Khattab kedua. Dia adalah raja Balkh tetapi meninggalkan tahta untuk menjadi seorang sufi. Menurut sumber-sumber Arab dan Persia seperti al-Bukhari (w. 870) dan banyak lainnya, Ibrahim Bin Adham menerima peringatan dari Allah dan turun tahta tahtanya untuk mengambil kehidupan sufi dan berkhalwat di Suriah. Dia meninggal pada 777-8 dan diyakini dimakamkan di kota Suriah Jabala.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar