24.9.13

ADAB MENUNTUT ILMU DALAM TASAWUF

Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata, saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Syaikh Abu Yazid berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf, sehingga ia ditanya).” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi berkata, “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”


Abu Hafsh berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

la juga berkata, "Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalla’ yang menanyakan tentang masalah tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jama'ah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian ia berkata kepada mereka, "Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu." Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, "Mengapa ia melakukan hal itu?" Maka ia menjawab, "aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal sedangkan aku masih memiliki empat dananiq.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika ia sedang mencari ilmu, "Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar tentang ghaib dan sangat mungkin anda adalah yang gaib.” Kemudian ia berkata, “Coba ulangi apa yang anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrahim al-Khawwash berkata, “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya dan berbicara tentang perbuatannya.”

Abu Ja’far ash-Shaidalani berkata: Ada seseorang bertanya suatu masalah kepada Abu Sa'id al-Kharraz. la hanya memberi isyarat tentang masalah yang ditanyakan. Abu Sa'id kemudian berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa yang Anda inginkan tanpa harus dengan isyarat dari Anda. Sebab orang yang banyak memberi isyarat pada Allah adalah orang yang paling jauh dari-Nya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf), niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya, sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit mencarinya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Bagiku tidak ada kelompok manusia dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka aku lakukan semua itu.”

Abu Ali ar-Rudzabari berkata, “Ilmu kami ini adalah ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abu Said al-Kharraz berkata, “Aku diberi tahu tentang Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah. Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Basrah. Sampai di sana kemudian aku masuk masjid Jami' Basrah. Ternyata ia duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari pembicaraannya setelah ia melihatku ialah, aku duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian ia memberi isyarat padaku, "Orang tersebut adalah Anda." Kemudian ia berkata, "Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan ghaib apa yang dihadirkan pada mereka. Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”

Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari ia pernah berkata kepada anggota majelisnya, “Kalian adalah leontin dari kalung, dimana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena mereka berbicara tentang ilmu ini (tasawuf).”

Saya mendengar Ja'far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi pernah berkata, “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami' yang duduk di sekeliling Anda.” Saya jawab, “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al-Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para penganggur.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Jika Sari as-Saqathi ingin mengajariku sesuatu maka ia menanyakan suatu masalah. Suatu hari ia pernah bertanya, "Wahai anak muda, apa syukur itu?" Maka aku menjawabnya, "Syukur ialah anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada anda." Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku tentang syukur sembari berkata, "Bagaimana jawabanmu tentang syukur? Coba ulangi jawabanmu!" Aku kemudian mengulanginya.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abu Ali ar-Rudzabari dari Syaikh Junaid al-Baghdadi. Diceritakan dari Sahl bin Abdullah bahwa ia pernah ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun ia tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya tentang alasan, mengapa waktu itu ia tidak mau berbicara tentang ilmu tersebut. Lalu ia menjawab, “Pada saat itu Dzun Nun masih hidup, sehingga aku sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawuf) ketika ia masih hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Andaikan di Mekkah ini aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma'rifat sekalipun hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarak yang harus ditempuh seribu farsah, sehingga aku bisa medengar langsung darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, "Aku mendengar satu kalimat dari Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang fana’ sejak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al-Jalla’, “Mengapa ayah anda disebut dengan al-Jalla’?” la menjawab, “Bukan karena kata al-Jalla’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi jika ia berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”

Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan orang arif yang berbicara tentang hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang bertanya kepada Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang suatu masalah, sedangkan ia tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka ia akan berkata: "Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah."
Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
"Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (QS. Ali Imran: 173).

Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii berkata, “Jika anda sedang duduk mendengar seorang syaikh berbicara tentang suatu ilmu, sementara anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan anda kencing di tempat anda duduk, akan lebih baik daripada anda bangkit dari tempat duduk anda untuk meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kurraini, “Jika ada seseorang yang berbicara tentang suatu ilmu yang ia sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih anda sukai, kalau kondisinya demikian, diam ataukah berbicara?” Kemudian ia menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”

Asy-Syibli berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menimbulkan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathi berkata, “Barangsiapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Dari masing-masing kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi mereka yang sanggup memahaminya."


SUMBER : http://www.pejalanruhani.com/2013/01/adab-mencari-ilmu-tasawuf.html

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...